Pajak
dan Zakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan pemenuhan
kewajiban baik dalam kehidupan bernegara maupun beragama. Apapun entitasnya
baik individu maupun korporat. Terutama individu karena untuk korporat atau
perusahaan belum ada kesepakatan kesatuan pemikiran (unity of tought ) dari para ulama Indonesia.
Walau demikian, sudah banyak perusahaan yang membayar zakat atas dasar
kesadaran berkontribusi.
Pada
praktik pelaksanaanya tidak sedikit masyarakat yang masih bingung mengenai dua
hal ini, ada yang beranggapan bahwa keduanya saling menegasikan dan ada juga
yang berpendapat bahwa keduanya saling berdiri sendiri, serta kombinasi
pelakuan lainnya.
Pada
prinsipnya, baik pajak maupun zakat memiliki persamaan yaitu tujuan yang sama
untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan keduanya telah diatur agar dapat
dikelola menurut cara yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan tadi, yaitu
dengan menyetorkan pembayarannya ke lembaga resmi yang sudah disahkan
pemerintah. Selain itu tidak semua orang dikenakan kewajiban dua pungutan ini,
semuanya dikembalikan kepada batas minimum untuk dapat dikenakan kewajiban
menjadi wajib bayar pajak dan zakat. Di Pajak batas ini dikenal dengan istilah
(Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan Nishab jika pada Zakat.
Secara
mendasar Pajak sendiri berumur lebih muda daripada Zakat, Zakat sudah dikenal
jauh sebelum sistem perpajakan masuk ke Indonesia, pada masa kerajaan Islam
berkuasa di Nusantara, sudah berdiri Baitul
Maal yang menjadi pusat pengelolaan keuangan kerajaan, namun sistem
ini secara perlahan mulai digantikan seiring dengan kedatangan kaum imperialis
Eropa yang mengadopsi sistem perpajakan dinegara mereka.
Sebuah
sistem yang merupakan konsekuensi logis dari Du
Contract Sosial atau Perjanjian Sosial hasil pemikiran JJ.
Rousseau. Artinya kondisi ini membuktikan bahwa walaupun sifatnya lokal, Zakat
dapat diandalkan sebagai penopang keuangan negara. Dan dengan demikian tidak
heran jika eksistensi Zakat tidak bisa dihilangkan ketika membahas perekonomian
negara.
Perbedaan
yang paling pokok antara Pajak dan Zakat adalah sumber perintah pelaksanaanya,
Zakat bersumber dari Al-qur'an sementara Pajak bersumber dari Undang-Undang dan
regulasi lain yang merupakan buatan para penyelenggara negara. Sehingga hal ini
berdampak pada niat saat membayar. Tanpa bermaksud mengukur kadar keikhlasan,
mungkin para Muzakki (pembayar Zakat) lebih ikhlas melakukannya daripada pada
Wajib Pajak walaupun kedua pungutan ini sama-sama tidak memberikan imbalan
langsung kepada pembayarnya.
Di
Indonesia, praktik perpajakan yang berlaku telah menempatkan Zakat sebagai
unsur yang tidak dipisahkan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan para wajib
pajak. Zakat, bersama dengan sumbangan keagamaan lainnya yang bersifat wajib,
menjadi pengurang penghasilan neto wajib pajak (bisa dilihat di formulir induk
SPT Tahunan PPh OP), perlakuan ini berdampak berkurangnya nilai beban Pajak
yang masih harus dibayar.
Tapi
penerapan mekanisme ini berdampak kurang signifikan kecuali jika Zakat
diperhitungkan langsung sebagai pengurang beban/hutang Pajak. Ini menunjukkan
bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah saling menggantikan namun tidak sepenuhnya.
Menurut
Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999, dikenal dua jenis Zakat yaitu Zakat maal dan
Zakat fitrah. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah atas kedua jenis
Zakat yang sudah dibayarkan ini boleh dibebankan dalam perhitungan Pajak?
Didalam pasal 11 ayat 2 huruf b UU tersebut disebutkan bahwa termasuk dalam
harta yang dikenai zakat contohnya adalah perdagangan dan perusahaan. Sebuah
ruang lingkup yang sejalan dengan penjelasannya mengenai definisi Zakat maal.
Namun kondisi ini belum memungkinkan zakat fitrah untuk dapat dijadikan sebagai
unsur pengurang.
Adapun
syarat Zakat agar dapat dibiayakan (diperhitungkan sebagai pengurang) menurut
Pasal 9 UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat
(BAZ)atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Di Indonesia ada BAZ Nasional. Itu kenapa zakat fitrah tidak dapat memenuhi
kriteria ini, lain hal dengan Zakat maal yang oleh perusahaan atau orang
pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ. Sementara zakat fitrah diserahkan
hanya atas nama individu dan kepada lembaga amil zakat yang sifatnya lokal atau
langsung ke Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
Kompleksitas
penyelenggaraan kegiatan negara kian membutuhkan dana yang tinggi maka kembali
lagi bahwa keberadaan Pajak sebagai penopang utama tidak bisa dihilangkan.
Namun demikian ini bukan berarti Zakat tidak memberi peran, hingga Agustus 2011
BAZ Nasional sudah menerima 1,3 T Rupiah (sumber nya disini)
suatu pencapaian yang bisa digunakan untuk membantu kelancaran kegiatan ekonomi
bangsa sebagai penunjang dari aspek kehidupan sosial.
Dengan
demikian dari tinjauan singkat ini dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia
sudah mengakomodasi kerancuan sistem Pajak dan Zakat dengan menempatkan Zakat
sebagai unsur pengurang penghasilan netto yang akan diproses lebih lanjut untuk
menjadi dasar pengenaan pajak. Sistem ini dianggap belum sepenuhnya membuat
Pajak dan Zakat saling menggantikan karena dampak pengurangan ini tidak signifikan
dan lagi hanya Zakat yang diserahkan ke LAZ atau BAZ yang didirikan atau
disahkan oleh pemerintah yang boleh dibiayakan. Hanya jika pemenuhan kewajiban
Zakat sudah optimal dan perananya bagi ekonomi negara makin besar maka ada
kemungkinan posisinya makin sejajar dengan Pajak sehingga dapat betul betul
saling menggantikan.
Sumber : Pajak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih...