Seiring
dengan semakin menipisnya cadangan Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak dan gas
bumi yang dimiliki Indonesia, maka penerimaan negara praktis hanya bergantung
pada penerimaan pajak. Lebih dari 75% penerimaan negara disumbang oleh
penerimaan pajak. Diluar itu, meskipun tidak banyak masih ada penerimaan
lainnya seperti penerimaan negara bukan pajak termasuk laba BUMN dan hibah luar
negeri.
Tax Ratio
Tanggung Jawab Siapa?
Tax rasio
merupakan besaran yang senantiasa dipakai untuk menentukan keberhasilan
penarikan pajak di suatu negara. Tax rasio menunjukkan berapa besar rupiah
kenaikan penerimaan pajak akibat meningkatnya Produk domestik Bruto (PDB)
sebesar satu rupiah. Dengan bahasa yang lebih sederhana tax ratio (TR)
didefenisikan sebagai perbandingan antara penerimaan perpajakan (TX)
dengan PDB(y).
Menurut nota
keuangan pemerintah, besarnya tax rasio Indonesia pada tahun 2010 adalah 11,9%
dan naik 0,1% di tahun 2011 menjadi 12. Dalam kajian ekonomi makro diyakini
bahwa tax rasio berbanding lurus dengan tingkat kemandirian suatu bangsa.
Semakin besar penerimaan pajak disuatu negara maka akan semakin mandiri bangsa
itu. Ini menandakan semakin banyak partisipasi rakyat dalam pembayaran pajak.
Kemandirian disini diartikan sebagai kemampuan suatu negara untuk membiayai
pengeluarannya menggunakan dana sendiri, tanpa terikat oleh dana dari
luar (utang luar negeri).
Faktor yang
mendukung meningkatnya partisipasi rakyat dalam pembayaran pajak adalah jika
pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah dirasakan langsung hasil-hasilnya
oleh rakyat. Semakin banyak rakyat yang merasakan hasil-hasil pembangunan
seperti pelebaran jalan, pembangunan jembatan, pengobatan gratis di tumah sakit
dan lain sebagainya akan meningkatkan gairah mereka untuk lebih giat membayar
pajak. Nah, untuk dapat memeratakan hasil-hasil pembangunan itu sendiri,
pemerintah juga membutuhkan dana yang besar dari rakyat. Jadi hubungan ini
sebenarnya ibarat sebuah lingkaran yang saling terhubung satu sama lain.
Peningkatan
tax rasio tidak hanya menjadi tanggungjawab DJP semata. Ini melibatkan peran
dan fungsi kementrian dan lembaga lain. Sebab, DJP sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya secara garis besar hanya bertugas mengumpulkan uang pajak ke
pundi-pundi APBN sesuai dengan target yang diberikan setiap tahunnya. Kemana
uang pajak dibelanjakan adalah bukan kewenangan DJP lagi. Kementerian dan
lembaga adalah pihak yang menjadi eksekutor terhadap pembelajaan uang tersebut
sesuai dengan program-program yang mereka miliki yang tertuang dalam RKAKL
(Rencana Kerja Anggaran Kementrian Dan Lembaga)
Atas dasar
ini dirasakan pentingnya kerjasama antara DJP sebagai pemungut pajak dan
Kementerian/Lembaga sebagai pelaksana pembangunan, sehingga setiap rupiah pajak
yang dibayarkan oleh rakyat memberikan hasil yang positif bagi pelaksanaan
pembangunan.
Pajak Adalah
Harga Diri Bangsa
Pajak adalah
harga diri bangsa, jika penduduk di suatu negara enggan membayar pajak
maka demikian juga dengan orang asing yang tinggal dinegara itu. Alhasil,
kita hanya menjadi penonton tatkala hasil alam kita dikeruk dan digali dari
perut hbu pertiwi oleh para Perusahaan Multinasional tanpa membayar pajak
sepeser pun.
Bangsa ini
tidak mungkin lagi menggantungkan nasibnya pada utang luar negeri. Tidak hanya
kerepotan dalam membayar bunga tetapi dibalik pinjaman luar negeri tersebut
terdapat kepentingan politis para negara-negara donor. Justru dengan semakin
banyak berhutang akan menjauhkan bangsa ini dari kemandirian. Tercatat dalam
APBN-P pembayaran bunga dari utang luar negeri mencapai 117.784 miliar.
Idealnya,
biaya pembangunan di suatu negara harusnya dibiayai oleh rakyat di negara
tersebut melalui setoran pajak. Inilah mengapa dikatakan pajak sebagai harga
diri bangsa. Karena pajak sebagai harga diri bangsa, seharusnya setiap wajib
pajak merasa bangga setelah melakukan kewajibannya kepada negara. Setiap
pembayar pajak adalah pahlawan pembangunan yang sesungguhnya.
Kesadaran
Membayar Pajak Masih Rendah
Tak mudah
memang menghapus pandangan negatif mengenai pajak. Sebagai bangsa yang memiliki
catatan sejarah kerajaan, pajak lebih dianggap sebagai upeti dari rakyat kepada
penguasa. Dewasa ini, kasus-kasus pajak lebih didominasi oleh tingkah laku
pegawai pajak yang dianggap menyelewengkan uang pajak. Bahkan muncul sekelompok
orang di masyarakat yang menolak untuk membayar pajak, karena menurut mereka
uang tersebut di tilep oleh pegawai pajak. Anggapan ini tentu saja keliru. Uang
pajak yang dibayar oleh para Wajib Pajak aman berada di kas negara.
Menurut
penulis setidaknya ada 2 penyebab mengapa masyarakat enggan membayar
pajak: Pertama: “Buat Apa Saya Membayar Pajak?”
pertanyaan ini sering kali muncul di benak masing-masing kita. Pajak lebih
dipandang sebagai upeti buat penguasa. Masih banyak yang beranggapan bahwa
pajak adalah pengalihan kekayaan dari wajib pajak ke negara tanpa mendapatkan
imbalan. Pendapat seperti ini adalah hal yang keliru. Pajak adalah bentuk
partisipasi kita dalam pembangunan. Jika dahulu para pahlawan berjuang dengan
menggunakan bambu runcing, maka sekarang tugas kita lah mengisi kemerdekaan
dengan membayar pajak yang diperuntukkan bagi pembangunan. Dengan uang pajak
banyak rakyat Indonesia yang bisa hidup sejahtera, jalan-jalan biasa
diperbaiki, jembatan bisa dibangun, rumah sakit bisa menampung banyak pasien
miskin. Intinya dengan pajak kita bisa saling berbagi dengan sesama. Dengan
pajak bangsa ini bisa lebih mandiri.
Kedua, sistem perpajakan yang dipakai di
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui sistem self
assestment yang diterapkan di Indonesia menempatkan wajib pajak
sebagai pihak yang aktif melakukan kewajiban perpajakannya. Dalam sistem ini
wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar dan melaporkan
sendiri penghasilan yang mereka terima dalam satu tahun ke kantor pajak. Bagi
perusahaan besar sistem ini mungkin cocok dipakai sebab mereka telah memiliki
divisi pajak yang bertugas mengurusi masalah perpajakannya. Namun bagaimana
dengan pedagang kecil, orang pribadi dan pelaku UMKM yang pengetahuan pajaknya
minim? Mereka harus membagi waktu antara berdagang dan melaporkan kewajiban
pajak setiap bulannya. Meskipun DJP telah memberikan sosialisasi mengenai
pelaksanaan kewajiban perpajakan, namun tetap saja sistem ini cukup menyita
waktu bagi para wajib pajak pelaku UMKM. Mungkin perlu dibuat suatu terobosan
baru mengenai perpajakan bagi pelaku UMKM. Belajar dari pemungutan Pajak
Daerah, mungkin bisa juga diterapkan sistem pemungutan pajak jemput bola bagi
para pelaku UMKM. Sebab kebanyakan dari mereka bukan tidak mau membayar pajak,
tetapi lebih sering karena tidak mengerti caranya membayar pajak.
Perbaikan
Oleh DJP
DJP sebagai
institusi pemungut pajak senantiasa melakukan perbaikan terus-menerus dalam
rangka mewujudkan suatu sistem perpajakan yang adil, dan transparan. Ditahun
2012 ini ada 1.000 triliun uang pajak yang menjadi target penerimaan DJP.
Penerimaan pajak sebesar itu tidak akan mungkin tercapai tanpa reformasi
birokrasi. Perbaikan juga dilakukan dibidang SDM, yaitu dengan menindak para
petugas pajak yang nakal. Saling percaya antara Wajib Pajak dan DJP dalam
menghimpun uang pajak merupakan salah satu kunci sukses kemandirian bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih...