Tahun
2012 tinggal tinggal dua bulan lagi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah
menyelesaikan tugas mencari uang untuk negara dari sektor perpajakan dengan
target yang lebih tinggi dari sebelumnya. Target yang ditentukan oleh Badan
Kebijakan Fiskal ini merupakan angka yang harus diusahakan DJP selama setahun
kedepan melalui berbagai upaya. Di tahun 2011 kemarin, dari sumber tak resmi
yang penulis dengar lewat seorang teman mengatakan bahwa sekitar 95% yang sudah
mampu dicapai dari target yang ditetapkan, dan untuk itu apresiasi layak
diberikan kepada DJP atas pencapaian ini
Upaya
pencapaian target yang dilakukan oleh DJP dilakukan dengan langkah yang sifatnya
pendekatan berupa pengawasan atau penetapan kebijakan terkait dengan tarif.
Yang ingin penulis angkat dalam postingan blog ini adalah terkait dengan tarif.
Sering kita dengar bahwa DJP menerapkan kebijakan baru atas tarif suatu objek,
baik itu menaikkan atau menurunkan yang semata- mata tujuannya hanya satu yaitu
menjaga stabilitas prospek potensi penerimaan dari objek tersebut, penerapan
kebijakan ini dapat berdampak secara langsung (budgetair) atau tidak (regulerend).
Ternyata
perihal ini sudah dibahas melalui pemikiran seorang ekonom di abad ke 14 yaitu
Ibnu Khaldun yang berabad- abad kemudian menjadi cerminan Arthur Laffer, ekonom asal USA,
yang menggambarkan hasil pemikiran Ibnu Khaldun dalam bentuk kurva sederhana
(secara sekilas) yang sarat makna, dikenal dengan Laffer Curve. Inti dari pemikiran Ibnu
Khaldun adalah bahwa:
"In
the early stages of the state, taxes are light in their incidence, but fetch in
a large revenue...As time passes and kings succeed each other, they lose their
tribal habits in favor of more civilized ones. Their needs and exigencies
grow...owing to the luxury in which they have been brought up. Hence they
impose fresh taxes on their subjects... and sharply raise the rate of old taxes
to increase their yield...But the effects on business of this rise in taxation
make themselves felt. For business men are soon discouraged by the comparison
of their profits with the burden of their taxes... Consequently production
falls off, and with it the yield of taxation." (http://en.wikipedia.org/wiki/Muqaddimah).
Dari
ikhtisar pemikiran beliau penulis menyimpulkan ketika tarif pajak rendah sebut
saja misal 0% maka tidak ada penerimaan yang bisa didapat negara dari pajak,
dan masyarakat akan memiliki penghasilan tinggi namun tanpa pelayanan publik
yang memadai, keadaan ini mungkin terjadi dijaman dahulu ketika manusia hidup
dalam pola yang bisa dibilang tidak memiliki peradaban. Seiring waktu ketika
tingkat peradaban mulai berkembang yang diikuti peningkatan kebutuhan akan tata
negara yang baik maka disaat itu dibutuhkan iuran berupa pajak dengan tarif
yang hingga kini belum bisa ditentukan berapa tingkat wajarnya, andai
disebutkan 100% (kondisi ekstrim) maka hal ini akan membuat efek domino berupa
penurunan produktivitas (sengaja memilih tidak bekerja).
Menjadi
tugas Kementerian Keuangan (melalui DJP) untuk menentukan tarif pajak yang
dianggap wajar dalam menjaga penerimaan negara, dan ternyata penentuan ini
tidak semudah yang dibayangkan, ada lebih dari sekedar kalkulasi matematis
namun juga semacam pertimbangan respon perilaku pasar (wajib pajak yang
bertransaksi) yang kadang sulit ditebak, kecuali
jika memang objek/barang transaksi sifatnya memang primer/pokok maka efeknya
tidak akan terlalu berpengaruh (sifatnya inelastis).
Jika
dikembalikan pada kondisi ekstrim tadi (kesimpulan penulis atas pemikiran Ibnu
Khaldun) bisa jadi adalah dengan menurunkan tarif pajak pada tingkat tertentu
yang akan mendorong perilaku pasar menunjukkan respon maksimal atas insentif
ini. Karena secara teori justru peningkatan tarif akan membuat pasar jadi lesu,
dan ini menimbulkan deadweight
loss (kerugian beban baku) yang lebih besar bagi produktivitas
pasar (Mankiw 2009).
Namun
demikian, kesimpulan teoritis penulis ini masih dibayangi oleh keraguan akan
stabilitas politik pemerintahan dalam negeri yang belum optimal memberikan
perhatian pada respon pasar atas kebijakan perpajakan yang dibuat DJP. Terlebih
pada penduduk negeri ini yang berhak akan kehidupan yang layak dan pelayanan
publik yang baik. Apa mungkin pemikiran Ibnu Khaldun dan Kurva Laffer akan
menjadi anomali di negeri ini? Semoga tidak. Karena tuntutan kebutuhan
penyelenggaraan kehidupan negeri ini makin meningkat dan membutuhkan dana besar
yang menjadi tugas berat DJP.
Sumber : http://www.pajak.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih...