Kamis, 10 Februari 2011

Tax, Morality, and Incentive

Problem perpajakan di negeri ini dapat diibaratkan satu penyakit kronis. Ia sudah berlangsung lama, sistemik dan menjalar kemana-mana.

Masalahnya, bagaimana membenahi carut-marutnya perpajakan nasional ini?

Benahi moral dan berikan insentif! Begitu tegas pemerintah.

Maka, dikhotbahkanlah moral pada setiap kesempatan baik resmi atau tidak resmi. Tidak lupa tentu saja diundang seorang kyai kondang untuk memberikan kuliah agama di Dirjen Pajak. Tentunya dengan harapan banyak yang akan bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Sayang, manusia bukanlah malaikat. Kadang keinginan menambah istri, rumah, mobil, dan deposito di bank adalah lebih besar ketimbang rasa takut akan neraka. Himbauan dan penyegaran rohani hanyalah selingan di antara tuntutan duniawi yang tidak berbatas dan sulit terpuaskan.

Tidak mengejutkan bila satu dua hari saja terasa ada perbaikan, selebihnya semua berjalan seperti biasa. Semua menanti pensiun dan saat harta cukup untuk tujuh turunan baru berjanji tidak lagi korupsi.

Demikian pula, karena pengusaha adalah mahluk paling malas di negeri ini menurut pemerintah. Maka untuk membangkitkan semangat mereka perlu ada berbagai insentif. Mulai dari upah buruh yang ditekan, pemotongan hutang hingga pemutihan pajak. Pemerintah memandang dunia usaha dan investasi perlu dibangunkan kembali melalui tax amnesty. Dengan harapan kali ini mereka tidak berbohong lagi.

Akibatnya, pengusaha di negeri ini menjadi manja. Mereka selalu menanti insentif serta kemurahan hati pemerintah. Celakanya, rakyat juga tidak berdaya dan hanya bisa menurut.

Namun apa benar faktor moral dan insentif masalahnya? Bukankah percuma bicara moral bila institusi masihlah lemah. Tidak ada gunanya nasehat bila semua buta mata tutup telinga. Orang yang bermoral sudah dipinggirkan secara alamiah. Sementara yang bejat dan bermental korup justru terpelihara bahkan di usung tinggi.

Kebobrokan institusi adalah masalah sistem. Administrasi perpajakan di negara ini sangatlah merepotkan. Dan prosesnya pun dimonopoli secara sepihak. Akuntabilitas bisa dikatakan lemah bahkan hampir tidak ada. Terlalu banyak wewenang diberikan kepada para birokrat untuk menetapkan pajak tertanggung tanpa adanya transparansi dan mekanisme banding yang sederhana.

Tapi, di negara ini segala sesuatu memang harus dipersulit. Karena dengan mempersulit bisa didapatkan duit.

Begitu pula insentif. Ini hanya pengulangan cerita lama yang pasti berakhir dengan klise yang sama. Insentif adalah sinyal salah kepada orang yang salah. Dengan kebobrokan sistemik maka korupsi yang justru akan bertambah. Karena insetif adalah pilih kasih. Dan seribu satu alasan bisa diciptakan. Yang ujungnya lagi-lagi manipulasi. Insentif tidak layak demi satu keadilan. Bahkan tidak ada jaminan partisipasi mengingat hukum masih bisa dibeli.

Penyakit kronis memerlukan terapi mendasar sampai ke akarnya. Terapi kejut berupa insentif ibarat usapan balsam pada borok yang mengangga dan bernanah. Pemutihan pajak adalah mekanisme tambal sulam. Yang tidak lebih dari ikrar ketidakmampuan memberikan alternatif dan pembenahan ke dalam.

Ironis memang sikap pemerintah. Di satu pihak ingin mendapat pajak yang tinggi, di pihak lain tidak mau mengkaji secara lebih serius dan melakukan perubahan sistematis perpajakan nasional yang memang beresiko politik tinggi.

Makin lama pola perpajakan yang ada dipertahankan, makin parah problem sistemik dan akan makin sengsara nasib rakyat di negeri ini. Ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan sudah lama menggumpal pada seluruh anak negeri. Mereka saat ini masih menunggu dan berharap akan ada perubahan dan keberanian untuk melakukannya. (So, what should we do now???)

http://lepmida.com/column.php?id=309&awal=0

1 komentar:

  1. walah, aku gak pernah ngurusi masalah ini lan. hehehe...
    seo nya masih kurang, terus ditingkatkan keramaian blognya

    BalasHapus

Terima kasih...